“Surga Terakhir Dunia Jangan Dikorbankan demi Logam Dunia Industri”
Ketua Departemen Sosial, Politik, dan Mahasiswa (Sospolma) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK), Ammar Malik Nabil, menyampaikan kritik keras terhadap rencana dan praktik eksploitasi tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia menyebut, proyek-proyek tambang yang mulai masuk ke kawasan ini berpotensi menjadi bencana ekologis dan sosial, yang tidak hanya mengancam keberlangsungan alam laut Raja Ampat—tetapi juga keselamatan masyarakat Papua yang tinggal di sekitarnya.
“Raja Ampat adalah salah satu kawasan laut paling kaya di dunia, disebut sebagai surga terakhir dunia karena keanekaragaman hayatinya yang luar biasa. Mengizinkan tambang nikel masuk ke wilayah ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap warisan ekologis dunia dan hak hidup masyarakat Papua,” tegas Ammar.
Menurutnya, eksploitasi tambang nikel di wilayah sensitif seperti Raja Ampat sangat berisiko merusak ekosistem terumbu karang, mencemari laut dan sumber air bersih akibat limbah logam berat seperti nikel dan kromium. Paparan ini bisa berdampak langsung pada kesehatan masyarakat lokal, khususnya mereka yang bergantung pada laut dan mata air untuk hidup.
“Paparan logam berat dari aktivitas tambang nikel terbukti secara ilmiah bisa menyebabkan gangguan kesehatan serius, seperti kerusakan ginjal, gangguan pernapasan, hingga risiko kanker paru-paru. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi ancaman langsung terhadap keselamatan generasi Papua ke depan,” jelasnya.
Ammar juga menyesalkan lemahnya tanggapan dari pemerintah dan minimnya transparansi terkait izin usaha pertambangan (IUP) yang diberikan di kawasan konservasi dan pesisir Papua Barat Daya. “Bagaimana mungkin izin industri ekstraktif dikeluarkan di tengah kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut nasional? Ini menunjukkan adanya pembiaran, bahkan kemungkinan kompromi antara kepentingan kapital dan lemahnya integritas birokrasi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa proyek tambang di Raja Ampat tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga mengganggu kehidupan sosial dan kultural masyarakat adat. “Bagi masyarakat Papua, tanah dan laut bukan hanya sumber penghidupan—itu bagian dari identitas, spiritualitas, dan sejarah mereka. Kerusakan terhadap ruang hidup mereka adalah bentuk kekerasan yang terstruktur dan sistematis.”
Ammar juga menambahkan closing statment nya tentang perihal polemik tersebut“Kita harus jujur, pembangunan yang merusak warisan dunia dan membahayakan warga lokal bukanlah pembangunan—itu penjajahan dengan wajah baru. Raja Ampat bukan tempat bagi tambang. Itu tempat bagi kehidupan. Tempat yang harus dijaga, bukan dijual,” pungkas Ammar Malik Nabil.